BIOZINE #6 Fenomena Brainrot: Konten Receh dan Pembusukan Otak Anak! Akankah Pendidikan Menjadi Penyelamat?


(ARTIKEL POPULER : Upload Blogspot HIMAPBIO-FKIP UNMUL
Fenomena Brainrot: Konten Receh dan Pembusukan Otak Anak! Akankah Pendidikan Menjadi Penyelamat?
Oleh : Muhammad Syafa’at Abdullah, S.Pd.
(Mahasiswa Angkatan 2025 Program Studi Magister Pendidikan Biologi)
(FKIP-UNMUL)

“Konten Receh dan Pembusukan Otak Anak? Akankah Pendidikan Menjadi Penyelamat?”

     [Samarinda] Dunia digital kini menjadi panggung utama kehidupan generasi muda. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur, jari-jari mereka tak lepas dari layar ponsel. Di antara lautan video, meme, dan potongan adegan film yang diunggah tanpa henti, muncullah istilah baru yang kini ramai diperbincangkan: “brainrot”.
Istilah ini merujuk pada fenomena mengonsumsi konten dangkal, absurd, bahkan tidak bermakna, secara terus-menerus hingga memengaruhi pola pikir dan perilaku seseorang. Video berdurasi beberapa detik dengan humor aneh atau adegan tak masuk akal seolah menjadi “cemilan otak” sehari-hari. Sekilas menghibur, tapi diam-diam berpotensi merusak cara berpikir dan kemampuan fokus generasi muda (Tatminingsih, 2022).
Apa Itu “Brainrot”?
     Secara harfiah, brainrot berasal dari kata brain (otak) dan rot (membusuk) yang menggambarkan kondisi ketika otak mengalami “pembusukan” akibat kebiasaan menonton konten kosong secara berlebihan (Pratolo et al, 2023).
     “Banyak anak sekarang yang lebih hafal kalimat dari video meme dibanding pelajaran di sekolah,” ungkap seorang guru SMP di Samarinda dengan nada prihatin. “Bahkan beberapa di antara mereka mulai meniru gaya bicara atau perilaku tidak sopan dari konten yang mereka lihat di media sosial.”
     Konten jenis ini memang dirancang untuk cepat memicu rasa senang. Dengan durasi singkat dan visual yang menarik, anak-anak menjadi terbiasa menerima stimulasi instan tanpa perlu berpikir mendalam. Otak pun kehilangan kebiasaannya untuk memproses informasi kompleks.
Dampak yang Semakin Nyata
     Para pendidik dan psikolog kini mulai melihat tanda-tanda nyata dari dampak brainrot. Anak-anak lebih sulit fokus di kelas, mudah bosan jika pelajaran tidak secepat ritme video TikTok, serta lebih sering mengeluarkan candaan kasar atau perilaku meniru tokoh di dunia maya.
     “Rentang perhatian anak semakin pendek. Otak mereka terbiasa berpindah dari satu rangsangan ke rangsangan lain dengan cepat,” jelas seorang psikolog anak di Kalimantan Timur. “Ketika pelajaran menuntut mereka berpikir dan menunggu, mereka merasa jenuh padahal itu bagian dari proses belajar yang sehat.”
     Selain melemahkan fokus, brainrot juga berimbas pada empati sosial. Banyak remaja menganggap ejekan atau olok-olok ekstrem sebagai hal lucu, padahal bisa menyakiti orang lain. Fenomena ini menunjukkan menurunnya kepekaan terhadap perasaan sesama.
     Yang lebih mengkhawatirkan, teman sebaya kini juga menjadi sumber brainrot. Saat satu anak terbiasa menonton konten absurd dan menirunya, teman-teman di sekitarnya ikut meniru pola yang sama. Fenomena ini menular cepat, seperti virus sosial, membentuk “budaya receh” di lingkungan sekolah.
Apakah Hanya Anak yang Terkena Brainrot?
     Tidak juga. Brainrot tidak mengenal usia.
Orang dewasa pun kini banyak yang terperangkap dalam pola konsumsi serupa: scrolling berjam-jam tanpa arah, berpindah dari satu video lucu ke yang lain tanpa menyadari waktu.
     Meski secara intelektual orang dewasa memiliki daya kritis lebih tinggi, efek psikologisnya tetap terasa. Banyak yang mengeluh sulit fokus bekerja, mudah terdistraksi, dan kehilangan semangat membaca atau berpikir mendalam.
Fenomena ini menunjukkan bahwa brainrot adalah cermin dari budaya digital instan di mana kesabaran, empati, dan refleksi mulai terkikis oleh kebutuhan akan hiburan cepat dan mudah.

Mengapa Hal Ini Bisa Terjadi?

     Algoritma media sosial didesain agar pengguna betah berlama-lama. Konten yang muncul di layar bukanlah kebetulan, melainkan hasil perhitungan yang menyesuaikan selera pengguna. Semakin sering seseorang menonton video lucu atau aneh, semakin banyak konten serupa yang akan ditampilkan (Anggraini et al, 2024).

     Bagi anak-anak yang belum memiliki kemampuan kontrol diri, hal ini menjadi jebakan berbahaya. Mereka dengan mudah terhanyut dalam dunia maya dan mulai meniru perilaku yang viral tanpa menyadari dampak jangka panjangnya.

     “Jika anak-anak tidak mendapatkan pendampingan, mereka akan tumbuh dengan standar moral yang dibentuk oleh dunia digital, bukan oleh nilai kehidupan nyata,” jelas salah satu dosen pendidikan dari Universitas Mulawarman.

Pendidikan Sebagai Benteng Moral dan Emosional

     Di tengah derasnya arus brainrot, pendidikan menjadi garda terdepan dalam membentuk karakter anak. Sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi juga ruang untuk membangun empati, etika, dan tanggung jawab sosial.

1. Pendidikan Karakter yang Relevan dengan Era Digital

     Kurikulum harus adaptif terhadap perkembangan zaman. Pembelajaran karakter sebaiknya dikaitkan langsung dengan kehidupan digital anak misalnya, membahas digital etiquette, tanggung jawab dalam berkomentar, dan cara menyaring informasi yang sehat.

2. Integrasi Literasi Digital di Sekolah

     Literasi digital tidak berhenti pada kemampuan mengoperasikan gadget. Anak-anak perlu diajarkan berpikir kritis terhadap isi konten: apakah bermanfaat, positif, atau justru berpotensi merusak nilai moral.

3. Guru Sebagai Role Model dan Pembimbing Moral

     Guru memiliki peran penting sebagai teladan. Dengan pendekatan empatik dan komunikasi terbuka, guru dapat menjadi figur panutan yang membantu siswa memahami batas antara hiburan dan perilaku yang pantas.

4. Kolaborasi Sekolah dan Orang Tua

     Orang tua perlu hadir dalam dunia digital anak. Mendampingi mereka menonton, berdiskusi tentang nilai kebaikan, dan menanamkan kebiasaan refleksi bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar. Anak tidak butuh larangan total, melainkan bimbingan bijak.

5. Fasilitasi Anak dengan Kegiatan Positif dan Bermakna

     Anak-anak perlu diarahkan pada kegiatan yang membangun karakter: olahraga, seni, kegiatan sosial, membaca buku, atau keterlibatan dalam komunitas kreatif. Aktivitas ini menjadi penyeimbang antara dunia digital dan dunia nyata, serta menumbuhkan empati dan rasa tanggung jawab.

Menyalakan Kesadaran di Era Digital

     Fenomena brainrot bukan sekadar tren hiburan; ia adalah sinyal bahaya dari perubahan budaya yang cepat dan instan.

     Menolak digitalisasi bukan solusinya karena dunia digital sudah menjadi bagian dari kehidupan modern. Yang dibutuhkan adalah kebijaksanaan dalam menggunakan teknologi.

     “Anak tidak bisa dijauhkan dari dunia digital,” ujar seorang pemerhati pendidikan di Samarinda, “tapi mereka bisa diajarkan untuk bijak menggunakannya. Di sinilah peran pendidikan sebagai lampu penerang di tengah gelapnya arus konten tanpa arah.”

Kesimpulan

Brainrot adalah refleksi dari zaman di mana hiburan cepat lebih menarik daripada refleksi diri. Anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa menghadapi tantangan moral baru: bagaimana menjaga kejernihan berpikir di tengah banjir konten yang menghibur namun hampa makna.  Hanya melalui pendidikan yang kuat, literasi digital yang menyeluruh, dan pendampingan penuh kasih dari keluarga serta guru, generasi muda dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijak, berempati, dan bermoral. Karena pada akhirnya, moral yang kokoh tidak dibentuk oleh algoritma melainkan oleh nilai, kasih, dan pendidikan yang menuntun manusia untuk berpikir dan merasa dengan hati.


Referensi

Tatminingsih, S. (2022). Implementation of Digital Literacy in Indonesia Early Childhood Education. International Journal of Emerging Issues in Early Childhood Education, 4(1), 12–22.

Pratolo, B. W., Fatimah, N., Soviyah, S., & Ali, Z. (2023). Digital Literacy readiness: Voices of Indonesian Primary and Secondary English Teachers. English Language Teaching Educational Journal, 5(2), 129–142.

Anggraini, P. D., Harris, T., & Wahyudi, M. F. (2024). Literasi Pendidikan Indonesia di Era Digitalisasi 5.0 dalam Menghadapi Tantangan dan Peluang. Akademika, 17(2), 114–127.




Komentar

  1. Muhammad Syafa'at Abdullah24 November 2025 pukul 01.28

    Terima kasih HIMAPBIO mau menerbitkan opini kuu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon aristatus)

Soal Olimpiade Biologi (Osagi II) Tingkat SMP Sederajat

DAUN SIRIH MERAH (Pipper crocatum)