BIOZINE #6 Fenomena Brainrot: Konten Receh dan Pembusukan Otak Anak! Akankah Pendidikan Menjadi Penyelamat?
Mengapa Hal Ini Bisa Terjadi?
Algoritma media sosial didesain agar pengguna betah berlama-lama. Konten yang muncul di layar bukanlah kebetulan, melainkan hasil perhitungan yang menyesuaikan selera pengguna. Semakin sering seseorang menonton video lucu atau aneh, semakin banyak konten serupa yang akan ditampilkan (Anggraini et al, 2024).
Bagi anak-anak yang belum memiliki kemampuan kontrol diri, hal ini menjadi jebakan berbahaya. Mereka dengan mudah terhanyut dalam dunia maya dan mulai meniru perilaku yang viral tanpa menyadari dampak jangka panjangnya.
“Jika anak-anak tidak mendapatkan pendampingan, mereka akan tumbuh dengan standar moral yang dibentuk oleh dunia digital, bukan oleh nilai kehidupan nyata,” jelas salah satu dosen pendidikan dari Universitas Mulawarman.
Pendidikan Sebagai Benteng Moral dan Emosional
Di tengah derasnya arus brainrot, pendidikan menjadi garda terdepan dalam membentuk karakter anak. Sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi juga ruang untuk membangun empati, etika, dan tanggung jawab sosial.
1. Pendidikan Karakter yang Relevan dengan Era Digital
Kurikulum harus adaptif terhadap perkembangan zaman. Pembelajaran karakter sebaiknya dikaitkan langsung dengan kehidupan digital anak misalnya, membahas digital etiquette, tanggung jawab dalam berkomentar, dan cara menyaring informasi yang sehat.
2. Integrasi Literasi Digital di Sekolah
Literasi digital tidak berhenti pada kemampuan mengoperasikan gadget. Anak-anak perlu diajarkan berpikir kritis terhadap isi konten: apakah bermanfaat, positif, atau justru berpotensi merusak nilai moral.
3. Guru Sebagai Role Model dan Pembimbing Moral
Guru memiliki peran penting sebagai teladan. Dengan pendekatan empatik dan komunikasi terbuka, guru dapat menjadi figur panutan yang membantu siswa memahami batas antara hiburan dan perilaku yang pantas.
4. Kolaborasi Sekolah dan Orang Tua
Orang tua perlu hadir dalam dunia digital anak. Mendampingi mereka menonton, berdiskusi tentang nilai kebaikan, dan menanamkan kebiasaan refleksi bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar. Anak tidak butuh larangan total, melainkan bimbingan bijak.
5. Fasilitasi Anak dengan Kegiatan Positif dan Bermakna
Anak-anak perlu diarahkan pada kegiatan yang membangun karakter: olahraga, seni, kegiatan sosial, membaca buku, atau keterlibatan dalam komunitas kreatif. Aktivitas ini menjadi penyeimbang antara dunia digital dan dunia nyata, serta menumbuhkan empati dan rasa tanggung jawab.
Menyalakan Kesadaran di Era Digital
Fenomena brainrot bukan sekadar tren hiburan; ia adalah sinyal bahaya dari perubahan budaya yang cepat dan instan.
Menolak digitalisasi bukan solusinya karena dunia digital sudah menjadi bagian dari kehidupan modern. Yang dibutuhkan adalah kebijaksanaan dalam menggunakan teknologi.
“Anak tidak bisa dijauhkan dari dunia digital,” ujar seorang pemerhati pendidikan di Samarinda, “tapi mereka bisa diajarkan untuk bijak menggunakannya. Di sinilah peran pendidikan sebagai lampu penerang di tengah gelapnya arus konten tanpa arah.”
Kesimpulan
Brainrot adalah refleksi dari zaman di mana hiburan cepat lebih menarik daripada refleksi diri. Anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa menghadapi tantangan moral baru: bagaimana menjaga kejernihan berpikir di tengah banjir konten yang menghibur namun hampa makna. Hanya melalui pendidikan yang kuat, literasi digital yang menyeluruh, dan pendampingan penuh kasih dari keluarga serta guru, generasi muda dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijak, berempati, dan bermoral. Karena pada akhirnya, moral yang kokoh tidak dibentuk oleh algoritma melainkan oleh nilai, kasih, dan pendidikan yang menuntun manusia untuk berpikir dan merasa dengan hati.
Referensi
Tatminingsih, S. (2022). Implementation of Digital Literacy in Indonesia Early Childhood Education. International Journal of Emerging Issues in Early Childhood Education, 4(1), 12–22.
Pratolo, B. W., Fatimah, N., Soviyah, S., & Ali, Z. (2023). Digital Literacy readiness: Voices of Indonesian Primary and Secondary English Teachers. English Language Teaching Educational Journal, 5(2), 129–142.
Anggraini, P. D., Harris, T., & Wahyudi, M. F. (2024). Literasi Pendidikan Indonesia di Era Digitalisasi 5.0 dalam Menghadapi Tantangan dan Peluang. Akademika, 17(2), 114–127.
Terima kasih HIMAPBIO mau menerbitkan opini kuu
BalasHapus